Fenomena Baru di Kota Tua yang Super Modern
Jakarta: Kota Mall Terbanyak di Dunia yang Bikin Lapar Mata
Kalau kamu sekarang lagi ngopi, rebahan, atau stuck di macet, coba deh mikir bentar: “Kapan terakhir ke mall?” Dan waktu ke mall, beli apa? Atau jangan-jangan cuma muter-muter, cek harga, lalu cabut?
Nah, tenang, kamu nggak sendiri. Karena sekarang lagi rame banget yang namanya fenomena Rojali alias Rombongan Jarang Beli. Serius, ini bukan nama karakter sinetron atau tokoh di TikTok, tapi udah jadi realita sosial yang diam-diam tapi nyata. Rojali udah jadi tren di berbagai mall besar di Jakarta dan kota-kota lain. Nongkrong ramean, tapi belanjanya? Nihil. Atau minimal banget.
“Rojali itu rombongan jarang beli. Jadi rame-rame ke mall, tapi belanjanya bisa dihitung jari. Kadang malah cuma beli air mineral doang.” — Aksan Nation, YouTuber.
Dari Belanja ke Cuma Jalan-Jalan — Siapa Bilang Ekonomi Gak Kerasa?
Belanja Berkurang, Mall Tetap Ramai — Kenapa Bisa Gitu?
Jakarta itu ibarat surga mall. Data terakhir bilang ada sekitar 80 sampai 100 mall tersebar di seluruh penjuru kota. Tapi anehnya, makin ke sini, mall tetap rame, tapi transaksi malah makin sepi.
Apa penyebabnya? Tentu nggak jauh-jauh dari yang namanya ekonomi rakyat yang lagi ngos-ngosan. Nggak peduli kelas menengah atas atau bawah, sekarang semua orang mikir dua kali sebelum gesek kartu. Diskon pun kayaknya nggak seampuh dulu.
“Rojali tuh efek domino dari kondisi ekonomi yang bikin masyarakat makin hemat. Orang tetap pengen hiburan, tapi dompet enggan diajak kompromi.” — Dosen Ekonomi, Universitas Gaya-Gaya.
Antara Cari Angin dan Cari Spot Selfie
Mall udah bukan cuma tempat buat belanja. Sekarang banyak yang ke mall buat ngadem, cari spot Instagramable, atau sekadar lepas dari panas dan polusi Jakarta.
Fenomena Rojali ini bahkan bikin mall-mall berinovasi. Dari bikin zona playground gratis, live music di atrium, sampai foto bareng karakter cosplay atau maskot raksasa, semua dilakukan demi bikin pengunjung betah… walau dompet mereka tetap aman.
Kenapa Orang Indonesia Makin Suka “Nongkrong Gak Jelas”?

Sosial Media dan Gaya Hidup Nongki
Kalau kamu buka TikTok atau IG Reels sekarang, banyak banget video “daily life di mall” yang ending-nya cuma makan es krim atau ambil video OOTD di eskalator. Di era digital, hadir itu lebih penting daripada konsumtif. Bahkan kadang, update story lebih penting daripada belanja beneran.
“Ngapain belanja mahal-mahal, kalau bisa tampil kece cukup modal kamera wide?” — Netizen, akun @nongkikere.
Rojali pun jadi gaya hidup baru. Ada geng Rojali yang tiap weekend udah punya jadwal mall-hop. Tapi yang dibeli? Paling segelas Thai Tea dan kentang goreng buat rame-rame.
Strategi Mall: Dari Diskon Gede ke Hiburan Gratis
Diskon Udah Nggak Menarik?
Dulu kalau ada diskon 70%, orang bisa rebutan barang kayak lagi panic buying. Tapi sekarang? Diskon segede gaban kadang cuma bikin orang liat-liat, terus pulang bawa keresek kosong.
Mall pun akhirnya beralih strategi. Mereka sadar bahwa pengunjung sekarang lebih milih experience daripada transaksi. Maka muncullah atraksi-atraksi:
- Panggung akustik mini di food court
- Pameran seni instan ala Pop Art
- Booth foto gratisan
- Workshop gratis untuk anak-anak
Makin banyak hiburan gratis, makin besar kemungkinan pengunjung mampir dan… siapa tahu tiba-tiba tergoda belanja juga, kan?
Ekonomi Lesu Tapi Investasi Jalan Terus
Duit Belanja Beralih ke Deposito dan Saham?
Menurut pengamat ekonomi, orang sekarang lebih mikir panjang. Daripada belanja baju diskon yang belum tentu dipakai, mereka lebih milih taruh uang ke deposito, saham, atau emas. Apalagi setelah pandemi, banyak yang sadar bahwa dana darurat itu lebih penting dari sepatu baru.
“Kelas menengah atas pun saat ini lebih senang simpan uang di tempat aman. Belanja sekunder mulai ditinggalkan.” — Pengamat Ekonomi, Universitas Capital.
Rojali: Tren Sementara atau Budaya Baru?
Dari Jakarta ke Kota-Kota Lain
Rojali bukan cuma ada di Jakarta. Di Bandung, Surabaya, Medan sampai Makassar, tren ini juga mulai kelihatan. Mall-mall tetap penuh, tapi nilai transaksi per kepala makin kecil. Ini bisa jadi gambaran bahwa gaya konsumsi masyarakat kita memang berubah.
Bisa jadi ini tren sementara karena kondisi ekonomi, tapi bisa juga ini udah mulai jadi budaya baru: nongkrong hemat, belanja seperlunya, dan foto sebanyak-banyaknya.
Gimana Mall Menyikapi Fenomena Rojali?
Adaptasi atau Mati?
Kalau mall nggak adaptasi, ya siap-siap aja jadi sepi kayak bioskop di hari Senin. Mereka harus lebih kreatif dari sebelumnya. Rojali emang nggak ngasih pemasukan langsung, tapi mereka tetap penting karena bikin mall tetap hidup. Minimal jadi traffic yang penting buat branding dan daya tarik tenant.
Bahkan beberapa mall udah menggandeng komunitas-komunitas seperti:
- Komunitas skate atau sepeda lipat
- Komunitas cosplay
- Komunitas ibu-ibu arisan
- Komunitas foto OOTD
Dengan kolaborasi ini, Rojali bisa diarahkan jadi penggerak ekonomi alternatif.
Kata Netizen tentang Rojali
“Gue sih setuju Rojali, asal jangan bawa seluruh RT buat duduk di satu kafe cuma pesen satu gelas kopi.” — @mak_bibeh
“Fenomena Rojali itu kayak silent protest dari masyarakat ke kondisi ekonomi yang gak ngasih ruang buat jajan santai.” — @anakmilenialngirit
“Gue dateng ke mall buat ngecas HP dan hati yang lowbat. Bukan buat belanja.” — @romantisfakir
Tips Jadi Rojali yang Elegan
Kalau kamu mau jadi bagian dari Rojali tapi tetap santun dan elegan, coba ikutin tips ini:
- Selalu beli minimal satu produk, meskipun kecil, sebagai bentuk support.
- Jangan numpang duduk terlalu lama di food court kalau gak belanja.
- Ambil foto secukupnya. Jangan blocking spot buat yang beneran belanja.
- Jaga etika dan jangan bikin mall kayak rumah sendiri.
- Jangan ngaku-ngaku Rojali kalau bawa bekal sendiri dari rumah.
Rojali: Antara Gaya Hidup atau Sinyal Krisis?
Fenomena Rojali mungkin terlihat lucu di permukaan, tapi sebenarnya ini adalah refleksi jujur dari kondisi ekonomi masyarakat urban saat ini. Ketika harga-harga naik, gaji stagnan, dan kebutuhan makin kompleks, orang mulai memprioritaskan hal-hal yang benar-benar penting.
Tapi jangan salah, Rojali juga punya sisi positif. Mereka tetap mendukung eksistensi mall, jadi traffic generator, dan menunjukkan bahwa hiburan murah meriah tetap bisa dinikmati. Mall pun harus adaptif, kreatif, dan lebih dari sekadar tempat jualan.
Jadi, kamu tim belanja, tim jalan-jalan, atau… tim Rojali garis keras?
“Ketika ekonomi melemah, kreativitas dan kepekaan sosial jadi solusi. Rojali bukan sekadar gaya hidup, tapi reaksi terhadap realitas.” — Editor @admin
Jika kamu suka artikel seperti ini, jangan lupa mampir ke CocotMedia.com buat baca artikel viral, santai, tapi tetap nendang dan melek tren!