Gegara Putar Murotal, Hotel di Mataram Ditagih Royalti Rp4,4 Juta: Masuk Akal atau Kebablasan?

Putar Murotal Hotel di Mataram Ditagih Royalti Rp4,4 Juta
Putar Murotal Hotel di Mataram Ditagih Royalti Rp4,4 Juta

Drama di Balik Murotal Jadi Tagihan Royalti

Beberapa hari lalu, jagat dunia maya ramai banget sama berita dari Mataram. Sebuah hotel, tepatnya Grand Madani Hotel, tiba-tiba dapat surat cinta alias tagihan royalti dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Nilainya? Lumayan bikin kaget, sekitar Rp4,4 juta. Alasannya juga bikin dahi banyak orang mengernyit: karena hotel itu memutar murotal Al-Qur’an dan instrumen musik bernuansa Arab di area publik hotelnya.

Kalau sekilas didengar, mungkin banyak orang langsung mikir, “Lho, bukannya murotal itu bacaan suci? Kok bisa dimasukin ke kategori musik berbayar?” Nah, di sinilah kisah unik sekaligus kontroversial ini dimulai.

Artikel ini bakal kupaparkan dengan gaya santai khas Cocot Media. Kita akan bahas mulai dari kronologi, aturan hukum, respons hotel, sampai opini publik yang bertebaran di medsos. Plus, aku bakal kasih ulasan soal bagaimana kasus ini bisa jadi cermin perdebatan panjang tentang hak cipta, agama, dan ruang publik di Indonesia.


Kronologi Singkat: Dari Speaker Hotel ke Surat Tagihan

Awal Mula Kejadian

Menurut informasi dari General Manager Grand Madani Hotel, Rega Fajar Firdaus, pihaknya kaget banget pas menerima surat tagihan dari LMKN. Isinya jelas: hotel wajib bayar royalti Rp4,4 juta. Angkanya sudah termasuk PPN, jadi bukan sekadar angka mentah.

Dalam surat itu, disebutkan kalau pemutaran murotal maupun instrumen musik Arab dianggap sebagai fonogram—alias rekaman suara—yang dilindungi hak cipta. Nah, karena diputar di ruang publik (dalam hal ini area hotel), otomatis kena aturan wajib bayar royalti.

Reaksi Hotel

Rega sendiri bilang kalau hotel langsung menghentikan pemutaran murotal dan instrumen Arab itu untuk sementara. Bukan karena nggak mau berbagi rezeki, tapi karena hotel nggak nyangka sama sekali kalau bacaan murotal bisa dianggap objek yang dilindungi hak cipta.

“Kami kaget, jujur saja tidak menyangka murotal masuk kategori musik yang dikenakan kewajiban royalti,” kata Rega (kutipan pertama).

Hotel juga sudah sempat protes ke LMKN, tapi dijawab tegas bahwa rekaman murotal tetap punya hak cipta dari sisi rekamannya. Jadi bukan soal isi Al-Qur’an, tapi versi rekaman suara itu yang dilindungi undang-undang.

BACA JUGA  Tom Lembong Ajukan Praperadilan untuk Lawan Kasus Korupsi Gula, Apa Alasannya?

Kenapa Murotal Bisa Kena Royalti?

Hak Cipta Bukan Tentang Isi, Tapi Rekaman

Banyak orang yang bingung, bahkan emosi, mendengar kabar ini. Namun kalau ditelisik lebih dalam, logika LMKN sebenarnya ada dasarnya. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, ada istilah fonogram. Itu adalah rekaman suara yang diproduksi dan punya hak ekonomi buat penciptanya. Jadi, walaupun isi murotalnya adalah bacaan Al-Qur’an (yang sifatnya suci dan bukan ciptaan manusia), rekaman suara dari qari’ tertentu tetap dianggap punya hak cipta.

Singkatnya, bukan Qur’annya yang dipatenkan, tapi cara membacanya, rekaman, editing suara, dan proses produksinya. Nah, begitu rekaman itu diputar di ruang publik untuk kepentingan komersial (misalnya bikin suasana hotel lebih religius), maka ada kewajiban royalti.

Fenomena yang Baru Muncul

Yang bikin ribet, ternyata ini baru pertama kalinya Grand Madani Hotel kena tagihan kayak gini. Sebelumnya nggak pernah ada surat pemberitahuan atau sosialisasi khusus soal kewajiban bayar royalti untuk murotal. Jadi wajar banget kalau pihak hotel merasa ini kayak “jebakan Batman”.


LMKN dan Aturan Royalti: Lagi Ketat-Ketatnya

Siapa Itu LMKN?

LMKN adalah singkatan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Mereka punya tugas ngurusin soal hak cipta musik dan lagu, termasuk nagih royalti dari pihak yang memutar musik di ruang publik. Jadi misalnya restoran, kafe, hotel, sampai pusat perbelanjaan yang memutar musik untuk pengunjung, harus bayar royalti. Uang itu nantinya dibagi ke pencipta, penyanyi, produser, dan pihak lain yang terlibat di karya musik itu.

Kenapa Hotel Juga Kena?

Kalau dipikir-pikir, logikanya mirip kayak kafe yang putar playlist Spotify buat hibur tamu. Bedanya, ini murotal. Karena bentuknya rekaman suara, ya tetap kena aturan. Jadi LMKN kayaknya lagi gencar-gencarnya bikin hotel patuh aturan.

“Penggunaan rekaman di ruang publik, termasuk hotel, tetap dikenakan kewajiban membayar royalti,” tegas LMKN dalam penjelasan resminya (kutipan kedua).


Publik Merespons: Pro Kontra di Medsos

Banyak yang Geram

Nggak heran, berita ini langsung viral. Banyak netizen merasa ini agak kebablasan. Mereka menilai memutar murotal itu bagian dari ibadah, bukan hiburan komersial. Jadi harusnya nggak perlu ditarik royalti.

BACA JUGA  Calon Praja IPDN Asal Ternate Meninggal Saat Pendidikan Dasar

Komentar-komentar seperti: “Kalau gitu, masjid juga harus bayar?” atau “Ini lucu banget, masa suara Qur’an jadi bisnis?” bertebaran di media sosial.

Ada Juga yang Bilang Masuk Akal

Tapi di sisi lain, ada juga netizen yang bilang, ya memang begitu aturannya. Rekaman tetap rekaman, siapapun yang bikin harus dihargai. Mereka menilai LMKN cuma menjalankan tugas sesuai undang-undang.


Dari Sisi Hukum: Memang Ribet

UU Hak Cipta dan Fonogram

Kalau kita kulik aturan mainnya, UU Hak Cipta memang lumayan detail. Ada hak moral (yang nggak bisa dicabut) dan hak ekonomi (yang bisa dilisensikan atau dialihkan). Nah, fonogram termasuk kategori karya yang dilindungi.

Jadi, qari’ atau studio yang bikin rekaman murotal punya hak ekonomi. Kalau rekamannya diputar di ruang publik buat kepentingan komersial, otomatis kena royalti. Masalahnya, konteks murotal ini jadi bikin kasusnya lebih sensitif.

Sensitivitas Agama

Karena menyangkut Al-Qur’an, isu ini cepat banget jadi kontroversial. Orang langsung ngerasa kayak ada yang “jual-beli” bacaan suci. Padahal secara hukum, bukan Qur’annya yang dijual, tapi rekaman produksinya. Tapi ya wajar, banyak orang yang nggak mau terima alasan itu begitu saja.


Efek ke Hotel-Hotel Lain

Kasus Grand Madani bisa jadi efek domino buat hotel-hotel lain di Indonesia. Apalagi banyak hotel yang pakai murotal atau musik religi untuk menciptakan suasana tertentu. Kalau LMKN serius nagih, mungkin ada gelombang baru penagihan ke ratusan hotel lain.

“Ini pertama kalinya kami dapat tagihan seperti ini, sebelumnya tidak pernah ada pemberitahuan,” jelas Rega (kutipan ketiga).


Analisis Sosial: Antara Aturan dan Rasa

Kasus ini sebenarnya jadi titik ketemu antara aturan hukum dan perasaan sosial-religius masyarakat. Secara hukum, LMKN benar. Tapi secara sosial, publik merasa ini berlebihan.

BACA JUGA  Kasus Dugaan "Makelar" di Mahkamah Agung: Menyoroti Rentetan Masalah dan Upaya Bersih-Bersih Lembaga Hukum

Bayangin aja, orang datang ke hotel, dengar murotal, niatnya buat tenang atau tambah suasana islami, eh ternyata di balik itu ada hitung-hitungan uang royalti. Rasanya agak janggal, kan?


Opini Publik: Bisa Jadi Pemicunya Perubahan

Kalau kasus ini makin ramai, bukan nggak mungkin pemerintah atau DPR bakal didesak buat bikin pengecualian khusus. Misalnya, pemutaran murotal di ruang publik non-komersial bisa dibebaskan dari royalti. Atau dibuat aturan khusus biar jelas mana yang wajib bayar, mana yang nggak.

Bahkan ada kemungkinan LMKN bakal bikin kategori baru soal rekaman keagamaan. Kalau nggak begitu, isu kayak gini bisa terus jadi bahan polemik yang nggak ada habisnya.


Antara Logika Hukum dan Suara Hati

Kasus Grand Madani Hotel ini bisa jadi contoh nyata bahwa aturan dan perasaan masyarakat kadang nggak sejalan. Dari sisi hukum, wajar LMKN nagih royalti karena itu rekaman suara. Tapi dari sisi sosial dan agama, banyak yang menganggapnya kelewatan.

Apapun itu, kasus ini jadi pelajaran berharga buat semua pihak. Hotel jadi lebih hati-hati soal apa yang diputar. LMKN mungkin perlu lebih bijak dalam sosialisasi dan eksekusi aturan. Dan publik, ya perlu lebih paham soal bagaimana hak cipta bekerja di era digital ini.

Yang jelas, drama murotal di Mataram ini udah berhasil bikin kita semua mikir: apakah semua hal harus diukur dengan uang, bahkan bacaan suci sekalipun?

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *