Pada hari Jumat, 1 Agustus 2025 pukul 14.00 WIB, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan fatwa yang menyatakan peternakan babi modern di Kabupaten Jepara haram. Fatwa ini muncul setelah adanya rencana investasi besar senilai sekitar Rp 1,5 triliun. Bagi sebagian orang, investasi tersebut menggiurkan. Namun menurut MUI, dampaknya jauh lebih negatif dari sekadar keuntungan ekonomi—terutama bagi generasi masa depan.
Latar Belakang Fatwa
Permintaan dari Jepara dan MUI Pusat
Permintaan dari MUI Kabupaten Jepara mendorong MUI Jawa Tengah untuk mengkaji rencana peternakan ini secara mendalam. Meski awalnya disampaikan kepada MUI Pusat, kemudian diteruskan ke MUI Jateng dengan bahan pertimbangan yang memadai.
Sidang Fakta dan Proses Pengambilan Keputusan
Pada sidang yang digelar Jumat siang, MUI Jateng mempelajari fakta-fakta dan mempertimbangkan aspirasi DPR, khususnya dari anggota Komisi VIII DPR RI, Abdul Wahid, yang juga warga Jepara dan menyampaikan keresahan masyarakat Muslim di sana.
Alasan Keputusan MUI
Landasan Agama—Qur’an dan Hadis
Dalam fatwa tersebut, MUI mengacu pada ayat Al-Qur’an, hadis Nabi, dan pendapat ulama bahwa babi adalah najis dan konsumsi atau aktivitas yang berhubungan dengannya haram.
Ushul Fiqih dan Kaidah Mudarat vs Manfaat
Menurut kaidah fikih, sesuatu yang haram pasti memiliki sisi negatif yang lebih besar daripada manfaatnya. Seperti khamar dan judi—meskipun tampak menyenangkan sesaat, dampak buruknya jauh merusak.
Dampak Sosial dan Budaya di Komunitas Muslim
Peternakan babi dapat menimbulkan sekularisasi norma, toleransi terhadap aktivitas yang semula haram, atau kelemahan dalam sistem jaminan halal. Bila hal itu terjadi, generasi setelahnya bisa lupa sejarah bahwa babi pernah dilarang.
Dampak Investasi bagi Jepara
Manfaat Ekonomi vs Risiko Keberlanjutan
Ekonominya memang menjanjikan: Rp 1,5 triliun investasi pasti punya efek domino. Namun dari sisi sosial, mayoritas penduduk Jepara beragama Islam (lebih dari 90 %), sehingga peternakan babi dianggap bertolak belakang nilai-nilai agama dan budaya lokal.
Ketegangan Antara Investasi dan Identitas Lokal
Titik pertentangan muncul karena di satu sisi investor melihat potensi ekonomi, sedangkan di sisi lain pemuka agama dan warga khawatir identitas mayoritas akan tergeser. Fatwa MUI mencoba menjembatani hal ini.
Kutipan Utama dari Transkrip
“Peternakan babi … hukumnya haram. Mereka yang membantu hukumnya haram” — sebagai penekanan bahwa tidak hanya investor, tetapi juga pekerja dan pihak-pihak yang terlibat dianggap ikut berdosa secara agama.
“Ada investasi sebesar 1,5 triliun … menggeurkan. Tetapi … generasi kita … nanti toleransi terhadap sesuatu yang tadinya haram menjadi halal.” — Memuat dilema antara peluang finansial dan nilai kaum muslim.
Analisis Pengaruh Fatwa
Perspektif Lokal Muslim Jepara
Mayoritas muslim di Jepara kemungkinan besar menyambut positif fatwa tersebut. Sebab, fatwa melindungi norma agama dan identitas sosial dari risiko proyek yang bertentangan dengan nilai mayoritas.
Perspektif Investor dan Ekonomi
Investor mungkin merasa dirugikan atau kecewa atas keputusan ini karena potensi bisnis besar terhambat. Namun keputusan ini bisa memberi batas jelas bahwa keuntungan ekonomi tak selalu harus bertabrakan dengan nilai sosial.
Relevansi untuk Provinsi Lain
Fatwa ini berlaku untuk seluruh Jawa Tengah, bukan hanya Jepara. Dengan demikian, setiap rencana investasi peternakan babi modern di wilayah lain pun menggunaan preseden ini sebagai acuan.
Pesan Penting dari Fatwa
Menjaga Warisan Nilai Agama untuk Generasi Depan
MUI menegaskan bahwa fatwa bukan sekadar aturan formal, tapi warisan nilai yang harus diketahui generasi mendatang. Bayangkan jika generasi kelak mempertanyakan mengapa dulu peternakan babi pernah dipermasalahkan.
Mengenal Konsep Mudarat Dalam Fiqih
MUI menggunakan prinsip fiqih bahwa manfaat sekecil apa pun tidak bisa membenarkan kemudaratan yang besar. Hal ini mirip dengan alasan pelarangan khamar, judi, dan lain sebagainya.
Fatwa MUI Jateng yang menyatakan bahwa peternakan babi modern di Jepara haram merupakan langkah strategis untuk melindungi nilai mayoritas muslim dari potensi pertentangan identitas dan agama. Meskipun investasi senilai Rp 1,5 triliun terlihat menggiurkan, namun risiko yang ditimbulkannya bisa jauh lebih besar—baik dari perspektif agama, sosial, maupun generasi masa depan.