Dunia Maya Berubah Jadi Neraka: Begini Rasanya Jadi Target Bully Netizan Tanpa Henti
Oke, mari kita bicara soal sesuatu yang lagi panas banget di dunia hibiran dan media sosial Indonesia. Kita semua pasti udah tau, kan, soal perceraian mengejutkan antara pesepakbola nasional Pratama Arhan dan selebgram Azizah Salsha atau yang akrab disapa Zize? Nah, kalau urusan cerai-mencerai itu sebenarnya urusan pribadi, ya. Tapi, lain ceritanya ketika urusan pribadi itu dibawa ke ruang publik dan dijadikan bahan lemparan batu oleh ribuan, bahkan mungkin jutaan netizan.
Bayangin aja, baru aja statusnya berubah dari “istri” menjadi “janda”, Zize langsung harus menghadapi badai kritik, hujatan, dan cacian yang seolah-olah gak ada habisnya. Kehidupannya yang sudah pasti lagi kacau balau karena putus rumah tangga, malah dibuat semakin runyam dengan serangan digital yang datang bertubi-tubi. Ibaratnya, dia lagi jatuh, tangga yang mau dipegang malah rubuh. Selain itu, tekanan yang dia hadapi ini jauh lebih berat karena terjadi di depan mata publik, di mana setiap langkahnya diawasi dan setiap kesalahannya dibesar-besarkan.
Dari Selebgram Dicintai Jadi Musuh Publik Nomor Satu: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Awalnya, Zize ya cuma seorang selebgram biasa dengan followers yang lumayan banyak. Namanya makin melambung setelah hubungan asmaranya dengan Pratama Arhan menjadi buah bibir. Mereka dianggap pasangan yang serasi, dan dukungan dari fans mengalir deras. Namun, segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika kabar perceraian mereka mencuat. Secara perlahan tapi pasti, gelombang simpati berubah menjadi gelombang kemarahan. Zize yang dulu dipuja, tiba-tiba dibenci.
Lalu, apa pemicu utamanya? Tampaknya, publik merasa “dikhianati” dengan beberapa tindakan Zize pasca-perceraian yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka pegang. Misalnya, pemberitaan tentang kedekatannya dengan pengusaha muda Nadif Zahiruddin sebelum masa iddahnya selesai benar-benar menjadi bensin yang memicu amuk massa di dunia maya. Netizan merasa punya alasan untuk marah, dan mereka menyalurkan kemarahan itu dengan cara yang, ya, kita semua udah tau: cancel culture.
Cancel Culture itu Apa Sih Sebenarnya? Kenapa Bisa Nempel ke Azizah Salsha?
Sebelum kita bahas lebih jauh, kita harus sepakati dulu nih tentang istilah “Cancel Culture”. Jadi, dalam bahasa yang sederhana, cancel culture itu kayak aksi boikot massal di era digital. Ketika seseorang atau suatu pihak dianggap melakukan kesalahan—entah itu kesalahan moral, etika, atau ucapan—massa digital akan bersatu untuk “membatalkan” orang tersebut. Caranya? Dengan membanjiri kolom komentarnya dengan kritik, menarik dukungan, memboikot kerja samanya, dan pada intinya, berusaha menghapus eksistensi orang itu dari ruang publik.
Nah, Zize kebetulan banget jadi sasaran empuk dari fenomena satu ini. Alhasil, hidupnya sekarang seperti berjalan di atas ranjau. Setiap postingan, setiap penampilan, bahkan setiap kegiatan bisnisnya langsung disambut dengan hujatan. Media sosial yang seharusnya jadi tempat berbagi, buat Zize sekarang udah kayak medan perang. Yang lebih parah lagi, cancel culture ini gak cuma berdampak pada perasaannya aja, lho. Dampaknya nyampe ke urusan duit dan karir. Beberapa brand yang sebelumnya bekerja sama dengan Zize jadi was-was, khawatir reputasi mereka ikut tercoreng karena asosiasi dengan dirinya.
Masa Iddah yang Jadi Bahan Perdebatan: Aturan Agama vs. Penilaian Publik
Ini nih poin yang paling sensitif dan jadi pusat keributan. Dalam Islam, perempuan yang dicerai suaminya wajib menjalani masa iddah, yaitu masa menunggu sebelum dia boleh menikah lagi. Masa ini bertujuan untuk memastikan tidak ada janin dalam kandungan, dan juga sebagai masa refleksi. Nah, Zize dilaporkan sudah dekat dengan Nadif Zahiruddin sebelum masa iddahnya berakhir. Bagi sebagian kalangan, ini dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap norma agama.
Di sisi lain, muncul juga pertanyaan: sejauh mana publik berhak menilai dan menghukum seseorang berdasarkan interpretasi mereka terhadap norma agama? Apakah netizan yang menghujat itu semuanya paham betul dengan detail hukumnya? Atau jangan-jangan ini cuma jadi alasan untuk melegitimasi kebencian? Lagipula, seperti yang dikatakan ayah Zize, Andre Rosiade, hubungan mereka saat itu masih sebatas pertemanan. Tapi, ya sudahlah, di mata publik yang sudah emosi, interpretasi merekalah yang paling benar.
Jadi clear ya, dia gak bikin dosa sama publik, kenapa harus diserang habis-habisan?” – Andre Rosiade, ayah Azizah Salsha.
Andre Rosiade Ngaku Pusing, tapi Tetap Berusaha Jadi Ayah yang Supportif
Gimana perasaan seorang ayah ketika melihat anak perempuannya dihujat seantero jagat? Andre Rosiade, politikus yang biasa tampil tegas di parlemen, mengaku kalau dirinya pusing tujuh keliling. Bukan cuma karena kasihan sama anaknya, tapi juga karena media sosialnya sendiri ikut-ikutan rame. Admin medsosnya pasti kewalahan banget moderasi komentar-komentar yang isinya campur aduk antara urusan politik dan urusan keluarga.
Tapi, di balik semua tekanan itu, Andre berusaha banget untuk tetap menjadi ayah yang baik buat Zize. Dia mengaku sudah berkali-kali mengingatkan putrinya untuk introspeksi diri dan memperbaiki sikap. Nasihatnya sederhana tapi dalam: jalani saja ujian ini, perbaiki diri, dan berserah diri kepada Allah. Andre percaya, tidak ada ujian yang diberikan melebihi kemampuan hamba-Nya. Meskipun begitu, sebagai orang tua, dia juga sadar bahwa Zize masih muda dan butuh waktu untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Proses itu gak bisa dipaksakan, apalagi di bawah tekanan publik yang begitu masif.
“Anak Muda Butuh Waktu”: Memaklumi Proses Belajar di Era Serba Instan
Pernyataan Andre Rosiade yang satu ini penting banget untuk kita renungkan. “Anak muda masih butuh waktu untuk memperbaiki diri jauh lebih baik.” Di era di mana segala sesuatu harus instan—termasuk pertobatan dan perubahan diri—kita sering lupa kalau manusia butuh proses. Zize, bagaimanapun, adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah dan pasti punya kekurangan.
Publik sering menuntut perubahan yang drastis dan langsung terlihat. Ketika seorang selebriti melakukan kesalahan, mereka diharapkan untuk langsung “sempurna” keesokan harinya. Padahal, dalam kenyataannya, perubahan yang tulus butuh waktu, jatuh bangun, dan pembelajaran dari kesalahan. Oleh karena itu, mungkin kita perlu memberikan ruang bagi orang-orang seperti Zize untuk bernapas, belajar, dan tumbuh tanpa ancaman cancel culture setiap detiknya.
Gara-gara Tampilkan Zize, Brand Sportswear Erspo Dihajar Netizan dan Akhirnya Minta Maaf
Dampak cancel culture terhadap Azizah Salsha ternyata gak main-main. Kasus yang paling nyata adalah insiden dengan brand sportswear lokal, Erspo. Jadi, Erspo mengundang Zize untuk menjadi salah satu “muse” dalam perhelatan Jakarta Fashion Week (JFW) 2025. Tugas Zize sederhana: membawakan koleksi court Padel dari Erspo di atas runway.
Eh, tapi dampaknya luar biasa. Begitu foto dan video Zize sebagai muse Erspo beredar, jagat maya langsung gempar. Netizan yang sudah menyimpan “dosa” Zize langsung menyerbu akun media sosial Erspo. Kolom komentar Instagram dan TikTok @erspo.official dibanjiri dengan seruan untuk memboikot brand tersebut. Kritik pedas, hujatan, dan ancaman untuk tidak pernah membeli produk Erspo lagi memenuhi setiap unggahan. Tekanannya begitu besar sampai-sampai Erspo memutuskan untuk membatasi kolom komentar di Instagram mereka.
Surat Terbuka dan Permintaan Maaf: Belajar dari Kesalahan di Tengah Tekanan Massa
Akhirnya, Erspo menyerah di bawah tekanan publik. Mereka merilis sebuah surat terbuka yang intinya meminta maaf atas keterlibatan “beberapa talent” (yang merujuk pada Zize) di JFW 2025. Dalam pernyataannya, Erspo menyebut insiden ini sebagai “pembelajaran berharga” yang akan membuat mereka lebih selektif dan bertanggung jawab dalam memilih talent di masa depan. Mereka juga meminta maaf atas respons dari host live mereka yang dianggap kurang pantas.
Keputusan Erspo ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, ada yang memuji karena brand dianggap mau mendengarkan suara konsumen. Di sisi lain, banyak juga yang mengkritik karena Erspo dianggap ikut-ikutan “membully” Zize dengan memecatnya dan meminta maaf secara publik, seolah-ulah mengkonfirmasi bahwa Zize adalah “aib”. Akibatnya, posisi Zize di industri semakin sulit. Brand lain yang awalnya mungkin mau mempertimbangkan kerja sama jadi kapok dan takut reputasinya ikut anjlok.
Dengan ini, kami memohon maaf dengan tulus atas keterlibatan beberapa talent (muse) dalam acara Jakarta Fashion Week… Pengalaman ini menjadi pembelajaran berharga bagi kami untuk memperkuat proses pemilihan talent ke depannya.” – Pernyataan Resmi Erspo.
Lalu, Apa Dampak Psikologis yang Harus Dihadapi Azizah Salsha?
Coba kita bayangkan sejenak berada di posisi Azizah Salsha. Perceraian adalah salah satu peristiwa paling stres dalam hidup seseorang. Kemudian, di atas rasa sedih, kecewa, dan bingung itu, dia harus menanggung beban sebagai target kebencian massal. Setiap hari, dia membuka ponsel hanya untuk menemukan ribuan pesan yang menyakitkan. Nama baiknya tercoreng, karirnya terancam, dan dukungan sosial yang dia terima mungkin berkurang drastis.
Dampak psikologisnya bisa sangat parah. Mulai dari anxiety disorder (gangguan kecemasan), depresi, perasaan tidak berharga, bahkan sampai pikiran untuk mengakhiri hidup. Belum lagi, stigma sebagai “perempuan yang bermasalah” akan melekat padanya dalam waktu yang lama, bahkan setelah kasus ini reda. Dia akan selalu dikenang sebagai “mantan istri Arhan yang dihujat”, bukan sebagai Azizah Salsha yang seutuhnya. Proses penyembuhan luka batinnya pasti akan jauh lebih lama dan lebih sulit karena faktor eksternal ini.
Apakah Hukuman Sosial Seberat Ini Sudah Proporsional?
Ini pertanyaan besar yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri: sebandingkah hukuman yang diterima Zize dengan “kesalahan” yang dia lakukan? Mari kita breakdown. “Kesalahan” yang dituduhkan padanya adalah: bercerai (yang merupakan keputusan hukum dan pribadi) dan berteman dengan seorang lelaki sebelum masa iddah selesai (yang kebenaran faktanya masih simpang siur dan merupakan ranah privasi serta keyakinan pribadi).
Lalu, hukuman sosial yang dia terima adalah: kehilangan reputasi, ancaman terhadap mata pencaharian, trauma psikologis, dan pelecehan terus-menerus di ruang digital. Apakah ini adil? Banyak pakar komunikasi dan sosiolog yang meragukannya. Seringkali, intensitas cancel culture jauh melampaui proporsi kesalahan yang dilakukan. Alhasil, yang terjadi bukanlah perbaikan, tapi penghancuran.
Pelajaran Apa yang Bisa Kita Ambil dari Kasus Azizah Salsha Ini?
Kasus Azizah Salsha ini seperti cermin buat kita semua, para pengguna media sosial. Dia mengajarkan kita banyak hal tentang etika berdigital, empati, dan batasan kita sebagai publik.
- Pertama, kita bukan hakim. Ketika kita ikut-ikutan menghujat dan memboikot, sebenarnya kita sedang memposisikan diri sebagai hakim, juri, dan algojo. Padahal, kita tidak punya kapasitas untuk itu. Kita tidak tahu cerita lengkap di balik layar, kita tidak tahu perasaan sebenarnya dari orang yang kita serang.
- Kedua, batasi antara urusan publik dan privasi. Perceraian dan masa iddah adalah urusan yang sangat-sangat pribadi. Itu adalah ranah Zize, Arhan, dan keluarga mereka. Dengan demikian, ketika kita menjadikannya bahan perbincangan publik dan bahkan menghakimi, kita sudah melangkah terlalu jauh.
- Ketiga, kekuatan kita sangat besar. Aksi satu komentar hinaan mungkin terlihat sepele. Tapi ketika ribuan bahkan jutaan orang melakukan hal yang sama, dampaknya bisa menghancurkan hidup seseorang. Gunakan kekuatan itu dengan bijak. Sebaliknya, alih-alih menghujat, kita bisa memilih untuk diam jika tidak suka, atau memberikan kritik yang konstruktif tanpa menjatuhkan.
“Allah tidak memberikan ujian di luar kemampuan kita. Berarti ya sudah jalanin, perbaikin diri. Tapi kan ya anak muda masih butuh waktu untuk memperbaiki diri jauh lebih baik.” – Andre Rosiade, menasihati putrinya.
Masa Depan Azizah Salsha: Apakah Ada Cahaya di Ujung Terowongan?
Lalu, bagaimana kelanjutan cerita Azizah Salsha? Apakah dia akan selamanya terjebak dalam stigma ini? Jawabannya, tidak harus. Sejarah telah mencatat banyak selebriti yang berhasil bangkit dari keterpurukan akibat skandal atau cancel culture. Kuncinya ada pada ketahanan mental dan dukungan sistem yang kuat.
Pertama, Zize perlu fokus pada penyembuhan dirinya sendiri. Mencari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor adalah langkah yang sangat bijak. Kedua, dia perlu dikelilingi oleh orang-orang yang tulus mendukungnya, seperti keluarga dan sahabat dekat. Peran Andre Rosiade sebagai ayah yang meskipun pusing tapi tetap membimbing sangat krusial di sini.
Ketiga, dalam hal karir, Zize mungkin perlu merancang strategi baru. Mungkin dengan sementara waktu menjauh dari sorotan, fokus pada pengembangan diri, atau membangun bisnis yang tidak terlalu mengandalkan citra publik. Pada akhirnya, waktu adalah penyembuh yang terbaik. Perlahan-lahan, badai pasti akan reda. Berita panas akan digantikan oleh berita panas lainnya. Tugas Zize sekarang adalah bertahan dan membuktikan bahwa dia bisa belajar dan tumbuh dari semua ini.
Lebih Baik Menjadi Netizan yang Berempati Daripada Ikut-ikutan Meracuni Dunia Maya
Jadi, gimana kesimpulannya? Kasus Azizah Salsha ini adalah potret suram dari budaya kita di media sosial. Kita dengan mudahnya melontarkan kebencian, sering kali tanpa memikirkan dampak destruktifnya bagi kehidupan nyata seseorang. Kita lupa bahwa di balik layar itu ada manusia biasa dengan perasaan, keluarga, dan masa depan.
Cancel culture jarang membawa pada penyelesaian yang baik. Justru, yang sering terjadi adalah spiral kebencian yang tidak berujung. Oleh karena itu, mungkin sudah waktunya kita evaluasi kembali cara kita berinteraksi di dunia maya. Daripada ikut-ikutan menghujat, lebih baik kita gunakan energi kita untuk hal-hal yang lebih positif dan membangun. Lagipula, menjadi baik itu jauh lebih keren daripada menjadi toxic.
Untuk Zize, semoga dia diberikan ketabahan dan kekuatan. Prosesnya pasti panjang dan berat, tapi selama masih ada niat untuk memperbaiki diri, selalu ada harapan untuk bangkit. Dan untuk kita semua, mari kita jadikan ruang digital ini sebagai tempat yang lebih sehat, inklusif, dan penuh empati. Karena sekali lagi, menjadi manusia itu harus di mana saja, termasuk di dunia maya.



