cocotmedia – Kontroversi kepemilikan lahan di tengah laut kembali mencuat ke publik setelah perdebatan sengit antara Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, dengan Kepala Desa Kohod, Tangerang, Arsin. Polemik ini bermula dari keberadaan pagar laut misterius di perairan Tangerang yang diduga memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (HM).
Namun, perdebatan berujung pada keputusan pemerintah untuk membatalkan sertifikat tanah di lokasi tersebut. Artikel ini akan mengulas secara lengkap bagaimana perdebatan tersebut berlangsung, argumen kedua belah pihak, serta implikasi hukum atas fenomena tanah musnah di wilayah pesisir.
Kronologi Debat Nusron Wahid dan Kades Kohod
Peristiwa ini terjadi ketika Nusron Wahid melakukan kunjungan ke Desa Kohod, Tangerang, untuk meninjau keabsahan sertifikat kepemilikan pagar laut yang mengundang tanda tanya besar.
Saat tiba di lokasi, Nusron langsung mengajukan pertanyaan kepada Kades Arsin, yang bersikeras bahwa wilayah tersebut dulunya adalah empang (tambak ikan) yang kemudian hilang akibat abrasi laut sejak tahun 2004.
“Dulu itu adalah empang, Pak Menteri! Abrasi mulai sejak 2004, tanahnya hilang karena kena air laut.” – Arsin, Kades Kohod
Namun, Nusron Wahid membantah klaim tersebut dengan menyatakan bahwa tanah yang sudah musnah akibat abrasi tidak bisa lagi memiliki hak kepemilikan. Menurutnya, jika suatu tanah sudah tidak memiliki bentuk fisik, maka otomatis sertifikat kepemilikan juga tidak berlaku.
“Kalau dulunya empang, tapi sekarang sudah tidak ada bentuk fisiknya, maka itu masuk kategori tanah musnah. Kalau tanah musnah, otomatis hak kepemilikannya juga hilang!” – Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN
Pernyataan ini memicu perdebatan sengit, di mana Arsin berusaha mempertahankan klaim bahwa wilayah itu masih memiliki hak kepemilikan sah, sedangkan Nusron dengan tegas menolak argumen tersebut.
Apa Itu Tanah Musnah?
Dalam hukum agraria, tanah musnah merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tanah yang sudah hilang secara fisik akibat bencana alam, abrasi, atau perubahan alam lainnya.
Menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), jika suatu tanah sudah tidak ada secara fisik, maka hak atas tanah tersebut otomatis gugur.
Berikut adalah beberapa penyebab tanah musnah:
No | Penyebab Tanah Musnah | Dampaknya |
---|---|---|
1. | Abrasi laut | Hilangnya lahan di pesisir |
2. | Longsor | Tanah tertimbun dan berubah |
3. | Gempa bumi dan tsunami | Perubahan bentuk geografis |
4. | Erosi dan sedimentasi sungai | Penyusutan tanah di tepi sungai |
Karena kondisi ini bersifat permanen dan alami, hukum agraria tidak memungkinkan kepemilikan pribadi atas lahan yang sudah tidak ada bentuknya.
Keputusan Akhir – Pembatalan Sertifikat Pagar Laut
Setelah debat panas tersebut, Nusron Wahid akhirnya mengambil keputusan tegas:
“Saya tidak mau memperpanjang perdebatan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tanahnya sudah tidak ada, maka hak kepemilikannya juga hilang.”
Keputusan ini berarti bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (HM) atas pagar laut tersebut resmi dibatalkan. Nusron juga menegaskan bahwa tidak ada hak hukum bagi pihak mana pun untuk mengklaim kepemilikan lahan yang telah musnah.
Sebagai reaksi atas keputusan ini, Kades Arsin memilih untuk menghindari wartawan dan meninggalkan lokasi dengan dikawal beberapa orang yang tampak seperti pengawal pribadi.
Pendapat Ahli Mengenai Tanah Musnah dan Hak Kepemilikan
1. Pandangan Pakar Agraria
Menurut Prof. Boedi Harsono, pakar hukum agraria, dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, tanah yang telah hilang karena abrasi masuk dalam kategori tanah musnah.
“Tanah yang hilang secara alami tidak dapat diklaim sebagai kepemilikan pribadi. Sertifikat tanah yang sudah tidak memiliki objek fisik harus dianggap batal demi hukum.”
2. Analisis Pakar Hukum Tata Negara
Sementara itu, Dr. Zainuddin Ali, pakar hukum tata negara, menegaskan bahwa negara memiliki kewenangan untuk mencabut hak kepemilikan jika tanah sudah tidak ada bentuknya.
“Jika negara membiarkan sertifikat tanah tetap berlaku meski tanahnya sudah musnah, maka akan ada celah hukum yang bisa disalahgunakan.”
Implikasi Hukum dan Dampak Kasus Pagar Laut
Keputusan pembatalan sertifikat ini membawa sejumlah dampak penting:
- Menghindari Potensi Penyalahgunaan Sertifikat Tanah
- Jika pagar laut dibiarkan memiliki sertifikat, maka ada kemungkinan terjadinya spekulasi tanah di laut.
- Menjadi Preseden bagi Kasus Serupa di Indonesia
- Keputusan ini bisa dijadikan contoh dalam menangani kasus serupa, terutama di wilayah pesisir lainnya.
- Menguatkan Peran Negara dalam Menegakkan Hukum Agraria
- Pemerintah menunjukkan ketegasan dalam menerapkan hukum agraria, sehingga tidak ada lagi celah untuk pihak tertentu mengklaim lahan yang telah hilang.
Sudut Pandang
Debat antara Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dan Kades Kohod Arsin mengenai pagar laut di Tangerang akhirnya berujung pada pembatalan sertifikat kepemilikan.
Keputusan ini didasarkan pada fakta bahwa tanah yang sudah hilang akibat abrasi masuk dalam kategori tanah musnah, sehingga tidak bisa lagi diklaim sebagai hak milik.
Kasus ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana hukum agraria diterapkan di Indonesia, terutama terkait dengan keabsahan sertifikat tanah di wilayah pesisir yang rentan abrasi. Selain itu, keputusan ini juga menghindari potensi penyalahgunaan sertifikat tanah di masa depan.
Dengan adanya keputusan ini, pemerintah semakin mempertegas posisi mereka dalam menegakkan aturan agraria demi keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak.